Seni memang telah
menjadi bagian paling penting dalam perjalanan hidup saya. Tanggal 17 April
2020 lalu saya memperingati 37 tahun masa bernafas di atas dunia, sekaligus
mengapresiasi seni yang telah mengarahkan saya pada model kehidupan yang saat
ini saya jalani.
Entah dari mana
darah seni itu mengalir dalam tubuh saya, karena sampai dengan detik ini tak
satu pun riwayat kesukaan pada dunia seni ditunjukan ayah dan ibu saya. Seni
juga menjadi otak utama yang mengubah tatanan masa depan yang telah susah payah
dibangun orang tua untuk saya, yang menginginkan anak tertuanya (saya anak
pertama dari 3 bersaudara-red) menjadi seorang guru. Pernah juga sekali, ayah
dan ibu saya mencoba mengarahkan saya pada jalur militer, untuk menjadi seorang
anggota kepolisian namun kandas juga. Semua tak lepas dari jiwa seni yang terus
memberontak dalam diri saya, menginginkan hidup ini bebas menentukan jalannya,
menantang saya untuk selalu berkecimpung dalam kemustahilan dan kesulitan.
Jika dunia bisa
diputar kembali, tentu saja saya menginginkannya, mengikuti harapan orang tua
untuk menjadi guru atau polisi. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur, inilah
dunia yang harus saya hadapi dan taklukkan. Selain Allah SWT dan seluruh
tuntunan yang diberikan agama, saya juga ikut kata seni dalam menjalani sisa
umur agar lebih berkah, minimal bagi keluarga dan berharap satu saat seni ini
akan membuat saya mampu membanggakan orang tua.
Persoalannya,
seni yang saya geluti sangat kompleks. Nyaris setiap garis yang tertata rapi,
suara yang terdengar merdu hingga barisan pelangi sore mampu menggugah minat
saya untuk mempelajarinya. Tepat di usia 21, saya pernah menjejakkan kaki pada
salah satu perusahaan penerbitan surat kabar ternama di Provinsi Gorontalo,
yang sekarang ini populer disebut Gorontalo Post. Perusahaan ini memiliki
sejumlah anak perusahaan seperti Radar Gorontalo dan Harian Luwuk Post di
Sulawesi Tengah (Sulteng). Saya pernah merasakan kerasnya sistem kerja di ke-3
perusahaan anak-beranak ini, mulai dari kewajiban mencari berita lebih dari 10
berita per hari, berpindah-pindah rubrik kerja mulai dari rubrik metropolitan,
pemerintahan, politik, ekonomi hingga olahraga. Belum lagi kewajiban untuk
terus beradaptasi dengan gaya penulisan yang memenuhi kaidah penulisan berita,
mulai dari Straight
News, Dept News, Investigation News, Interpretative News dan Opinion News. Semua
pengetahuan yang saya dapat dari perusahaan bersaudara ini hingga saat ini
masih menjaga nafas saya pada jalur kuli tinta (istilah untuk pewarta-red),
meski tidak sebringas masa-masa emas di ke-3 perusahaan ini.
Saya
meyakini menulis juga bagian dari seni, meski ketertarikan terhadap seni-seni
yang lain turut bergelora semasa saya menjalani pekerjaan menjadi pemburu
informasi. Sebagai wartawan belia saat itu (istilah perusahaan disebut
magang-red), saya mendapatkan tugas tambahan dari sejumlah redaktur (editor
berita) untuk mengawal proses pembuatan perwajahan di halaman Koran oleh para
tenaga pra cetak. Mereka yang sampai saat ini masih terus menjadi bagian dalam
memori saya adalah Imran Husain dan Ris. Sejumlah halaman yang harus saya kawal
memang akan berhubungan dengan keduanya, utamanya halaman olahraga dan etalase
(halaman utama-red). Nyaris setiap malam saya menyaksikan tangan-tangan kedua
mahluk jenius ini menari-nari pada aplikasi desaign grafis seperti adobe
Photoshop dan Adobe Page Maker. Foto-foto hasil jepretan amatiran para pewarta
saat di lapangan tiba-tiba menjadi keren dan lebih baik kualitasnya setelah
melalui polesan mereka berdua. Diam di belakang mereka, saya coba mengamati dan
mencari tahu arah tarian jari-jari mereka baik yang berada di atas keyboard
maupun mouse computer. Hasilnya?, 100 persen saya tak bisa melacak, karena
kecepatan kerja mereka yang juga berada di bawah kendali deadline perusahaan sebagaimana diterapkan kepada para pewarta.
Pernah beberapa kali saya saya coba bertanya dan meminta mereka mengulangi
salah satu tahapan kerja. Hasilnya?, saya kena damprat karena memperlambat kerja
mereka yang tengah diburu waktu. Ingin mencari waktu luang mereka di luar jam
kerja, itu juga mustahil karena jam kerja malam sudah pasti mengubah pola
istirahat mereka menjadi siang hari.
Berbekal
sejumlah bayangan cara kerja kedua inspirator saya ini (Imran dan Ris-red),
saya mulai berselancar di dunia internet. Kebetulan perusahaan ini memiliki jaringan
internet yang bebas digunakan para karyawan untuk kebutuhan kerja. Malam usai
jam kerja, kebanyakan saya tidak kembali ke rumah dan memilih bermalam di ruang
redaksi. Menghabiskan satu dua jam bahkan lebih untuk mencari artikel-artikel
yang berkaitan dengan pengetahuan dasar Photoshop dan beberapa aplikasi design
grafis. Alhamdulillah!, secara otodidak, saya bisa menguasai seni menggambar
digital menggunakan aplikasi Adobe Photoshop, Adobe Ilustrator dan sejenisnya
hingga menjadi bagian dari jalan rezeki saya hingga saat ini. Untuk dikatakan
mahir sih tidak, apalagi jago, tapi bisa mengerjakan hal-hal yang tak bisa
dilakukan kebanyakan orang tentu membuat saya bangga. Inilah seni yang terus
mengawal perjalan hidup saya, inilah seni yang terus memberi pundi-pundi
kehidupan untuk saya dan inilah seni yang terus saya ikuti hingga detik ini.
Dari
sini, saya terus berlajar secara otodidak, meski tak mahir saya mampu
mengoperasikan berbagai aplikasi di bidang seni untuk membantu penghidupan saya
di luar pendapatan utama dari pekerjaan sebagai seorang pewarta. (fed)