Disqus Shortname

Sunday, May 3, 2020

ibnuabani

IKUT KATA SENI


   


Seni memang telah menjadi bagian paling penting dalam perjalanan hidup saya. Tanggal 17 April 2020 lalu saya memperingati 37 tahun masa bernafas di atas dunia, sekaligus mengapresiasi seni yang telah mengarahkan saya pada model kehidupan yang saat ini saya jalani.

Entah dari mana darah seni itu mengalir dalam tubuh saya, karena sampai dengan detik ini tak satu pun riwayat kesukaan pada dunia seni ditunjukan ayah dan ibu saya. Seni juga menjadi otak utama yang mengubah tatanan masa depan yang telah susah payah dibangun orang tua untuk saya, yang menginginkan anak tertuanya (saya anak pertama dari 3 bersaudara-red) menjadi seorang guru. Pernah juga sekali, ayah dan ibu saya mencoba mengarahkan saya pada jalur militer, untuk menjadi seorang anggota kepolisian namun kandas juga. Semua tak lepas dari jiwa seni yang terus memberontak dalam diri saya, menginginkan hidup ini bebas menentukan jalannya, menantang saya untuk selalu berkecimpung dalam kemustahilan dan kesulitan. 

Jika dunia bisa diputar kembali, tentu saja saya menginginkannya, mengikuti harapan orang tua untuk menjadi guru atau polisi. Tapi sudahlah, nasi telah menjadi bubur, inilah dunia yang harus saya hadapi dan taklukkan. Selain Allah SWT dan seluruh tuntunan yang diberikan agama, saya juga ikut kata seni dalam menjalani sisa umur agar lebih berkah, minimal bagi keluarga dan berharap satu saat seni ini akan membuat saya mampu membanggakan orang tua. 

Persoalannya, seni yang saya geluti sangat kompleks. Nyaris setiap garis yang tertata rapi, suara yang terdengar merdu hingga barisan pelangi sore mampu menggugah minat saya untuk mempelajarinya. Tepat di usia 21, saya pernah menjejakkan kaki pada salah satu perusahaan penerbitan surat kabar ternama di Provinsi Gorontalo, yang sekarang ini populer disebut Gorontalo Post. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan seperti Radar Gorontalo dan Harian Luwuk Post di Sulawesi Tengah (Sulteng). Saya pernah merasakan kerasnya sistem kerja di ke-3 perusahaan anak-beranak ini, mulai dari kewajiban mencari berita lebih dari 10 berita per hari, berpindah-pindah rubrik kerja mulai dari rubrik metropolitan, pemerintahan, politik, ekonomi hingga olahraga. Belum lagi kewajiban untuk terus beradaptasi dengan gaya penulisan yang memenuhi kaidah penulisan berita, mulai dari Straight News, Dept News, Investigation News, Interpretative News dan Opinion News. Semua pengetahuan yang saya dapat dari perusahaan bersaudara ini hingga saat ini masih menjaga nafas saya pada jalur kuli tinta (istilah untuk pewarta-red), meski tidak sebringas masa-masa emas di ke-3 perusahaan ini.

Saya meyakini menulis juga bagian dari seni, meski ketertarikan terhadap seni-seni yang lain turut bergelora semasa saya menjalani pekerjaan menjadi pemburu informasi. Sebagai wartawan belia saat itu (istilah perusahaan disebut magang-red), saya mendapatkan tugas tambahan dari sejumlah redaktur (editor berita) untuk mengawal proses pembuatan perwajahan di halaman Koran oleh para tenaga pra cetak. Mereka yang sampai saat ini masih terus menjadi bagian dalam memori saya adalah Imran Husain dan Ris. Sejumlah halaman yang harus saya kawal memang akan berhubungan dengan keduanya, utamanya halaman olahraga dan etalase (halaman utama-red). Nyaris setiap malam saya menyaksikan tangan-tangan kedua mahluk jenius ini menari-nari pada aplikasi desaign grafis seperti adobe Photoshop dan Adobe Page Maker. Foto-foto hasil jepretan amatiran para pewarta saat di lapangan tiba-tiba menjadi keren dan lebih baik kualitasnya setelah melalui polesan mereka berdua. Diam di belakang mereka, saya coba mengamati dan mencari tahu arah tarian jari-jari mereka baik yang berada di atas keyboard maupun mouse computer. Hasilnya?, 100 persen saya tak bisa melacak, karena kecepatan kerja mereka yang juga berada di bawah kendali deadline perusahaan  sebagaimana diterapkan kepada para pewarta. Pernah beberapa kali saya saya coba bertanya dan meminta mereka mengulangi salah satu tahapan kerja. Hasilnya?, saya kena damprat karena memperlambat kerja mereka yang tengah diburu waktu. Ingin mencari waktu luang mereka di luar jam kerja, itu juga mustahil karena jam kerja malam sudah pasti mengubah pola istirahat mereka menjadi siang hari.

Berbekal sejumlah bayangan cara kerja kedua inspirator saya ini (Imran dan Ris-red), saya mulai berselancar di dunia internet. Kebetulan perusahaan ini memiliki jaringan internet yang bebas digunakan para karyawan untuk kebutuhan kerja. Malam usai jam kerja, kebanyakan saya tidak kembali ke rumah dan memilih bermalam di ruang redaksi. Menghabiskan satu dua jam bahkan lebih untuk mencari artikel-artikel yang berkaitan dengan pengetahuan dasar Photoshop dan beberapa aplikasi design grafis. Alhamdulillah!, secara otodidak, saya bisa menguasai seni menggambar digital menggunakan aplikasi Adobe Photoshop, Adobe Ilustrator dan sejenisnya hingga menjadi bagian dari jalan rezeki saya hingga saat ini. Untuk dikatakan mahir sih tidak, apalagi jago, tapi bisa mengerjakan hal-hal yang tak bisa dilakukan kebanyakan orang tentu membuat saya bangga. Inilah seni yang terus mengawal perjalan hidup saya, inilah seni yang terus memberi pundi-pundi kehidupan untuk saya dan inilah seni yang terus saya ikuti hingga detik ini.

Dari sini, saya terus berlajar secara otodidak, meski tak mahir saya mampu mengoperasikan berbagai aplikasi di bidang seni untuk membantu penghidupan saya di luar pendapatan utama dari pekerjaan sebagai seorang pewarta. (fed)

    

ibnuabani

About ibnuabani -

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Subscribe to this Blog via Email :

Silahkan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan konten yang ada.